Negara Turki adalah negara di dua benua. Dengan luas
wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km persegi)
wilayahnya terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km
persegi) terletak di benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu
menjadikan Turki jembatan antara Timur dan Barat. Bangsa Turki
diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki
mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia
sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat
Modern. Hingga saat ini bangunan-bangunan bersejarah masa Bizantium
masih banyak ditemukan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki. Yang
paling terkenal adalah Aya Sofya, suatu gereja di masa Bizantium yang
berubah fungsinya menjadi mesjid pada masa Khalifah Usmani dan sejak
pemerintahan Mustafa Kemal hingga kini dijadikan musium.
Peradaban Islam dengan pengaruh Arab dan Persia
menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan
Dinasti Usmani. Islam di masa kekhalifahan diterapkan sebagai agama yang
mengatur hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT
sebagai Khalik, Sang Pencipta; dan juga suatu sistem sosial yang
melandasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam yang muncul di
Jazirah Arab dan telah berkembang lama di wilayah Persia, berkembang di
wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua bangsa
tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat
kedua peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini
menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam yang sering menganggap bahwa
bangsa Turki sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang
selalu ingin diluruskan oleh bangsa Turki sejak tumbuhnya nasionalisme
pada abad ke-19. Selanjutnya arah modernisasi yang berkiblat ke Barat
telah menyerap unsur-unsur budaya Barat yang dianggap modern. Campuran
peradaban Turki, Islam dan Barat, inilah yang telah mewarnai identitas
masyarakat Turki.
Masyarakat Indonesia mengenal
Turki sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga
mengenal Turki sebagai bangsa yang pernah memimpin dunia Islam selama
tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya
Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan masyarakat
Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923
menyatakan sebagai sebuah negara sekuler, di mana Islam yang telah
berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara
selama lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh
sistem Barat. Tulisan ini mencoba memaparkan fenomena tersebut dari
pandangan sosiologi sejarah.
Dari Westernisasi menuju Sekularisasi
Yang
dianggap sebagai momentum pertama kontak antara Turki dengan dunia
Barat adalah jatuhnya konstantinopel, ibukota Bizantium, ke tangan
pasukan Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Muhammad II pada tahun
1453. Konstantinopel yang selanjutnya diganti menjadi Istanbul, adalah
suatu kota metropolis yang berada di benua Asia dan Eropa. Inilah titik
awal masa keemasan Turki Usmani, yang terus cemerlang hingga abad ke-18
dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari Hongaria Utara
di Barat hingga Iran di Timur; dari Ukrania di Utara hingga Lautan
India di Selatan.
Turki Usmani berhasil membentuk
suatu Imperium besar dengan masyarakat yang multi-etnis dan
multi-religi. Kebebasan dan otonomi kultural yang diberikan Imperium
kepada rakyatnya yang non-muslim, adalah suatu bukti bagi dunia
kontemporer bahwa sistem kekhalifahan dengan konsep Islam telah
mempertunjukkan sikap toleransi dan keadilan yang luhur.
Sultan
adalah sekaligus khalifah, artinya sebagai pemimpin negara, Ia juga
memegang jabatan sebagai pemimpin agama. Kekhalifahan Turki Usmani
didukung oleh kekuatan ulama (Syeikhul Islam) sebagai pemegang hukum
syariah dan kekuatan tentara, yang dikenal dengan sebutan tentara
Janisssari. Kekuatan militer yang disiplin inilah yang mendukung
perluasan Imperium Usmani, dan juga yang menyebabkan keruntuhannya pada
abad ke-20.
Kegagalan pasukan Turki dalam usaha
penaklukan Wina pada tahun 1683, merupakan suatu awal memudarnya
kecermelangan Imperium Turki. Kekalahan tersebut dimaknai sebagai
melemahnya kekuatan pasukan Turki dan menguatnya pasukan Eropa. Lebih
disadari lagi bahwa kekalahan itu menandai kelemahan teknik dan militer
pasukan Turki. Inilah yang menjadi awal munculnya upaya mencontoh
teknologi militer Barat yang dianggap telah maju. Selanjutnya kondisi
ini membawa Turki Usmani pada suatu masa pembaruan atau modernisasi.
Setelah
Perang Dunia I pada tahun 1918, dengan kekalahan pihak Sentral yang
didukung oleh Turki, Imperium Turki Usmani mengalami masa kemuduran yang
sangat menyedihkan. Satu persatu wilayah kekuasaan yang jauh dari pusat
membebaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Bahkan lebih buruk lagi
negara-negara sekutu berupaya membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki untuk
dijadikan negara koloni mereka. Kondisi porak porandanya Imperium
menumbuhkan semangat nasionalisme pada generasi muda Turki ketika itu.
Pemikiran tentang identitasa bangsa dan pentingnya suatu negara
nasionalis yang meliputi bangsa Turki menjadi wacana yang banyak
diperdebatkan.
Pada tahun 1919-1923 terjadi
revolusi Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Kecemerlangan karier
politik Mustafa Kemal dalam peperangan, yang dikenal sebagai perang
kemerdekaan Turki, mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara
gerakan nasionalisme Turki. Gerakan nasionalisme ini, yang pada waktu
itu merupakan leburan dari berbagai kelompok gerakan kemerdekaan di
Turki, semula bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Turki dari
rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya
gerakan ini diarahkan untuk menentang Sultan.
Mustafa
Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan
kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan
nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama
kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Gagasan sekularisme
Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp,
seorang sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki.
Pemikiran Ziya Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk
karakter bangsa Turki, yaitu ke-Turki-an, Islam dan Modernisasi.
Kronologi
sejarah di atas, penulis uraikan untuk menerangkan suatu kondisi sosial
politik Imperium Usmani yang membentuk pemikiran dan gerakan sekuler
Mustafa Kemal. Dengan demikian Mustafa dan pengikutnya menggerakkan
reformasi-reformasi di Turki dengan dasar-dasar yang telah diletakkan
oleh para pembaru-pembaru di kekhalifahan Turki. Pada perkembangan
selanjutnya ide-ide reformasi Mustafa Kemal menjadi suatu gerakan
politik pemerintah yang dikenal dengan sebutan Kemalisme.
Kemalisme: Suatu Revolusi Budaya dan Negara (1923-1950)
Politik
Kemalis ingin memutuskan hubungan Turki dengan sejarahnya yang lalu
supaya Turki dapat masuk dalam peradaban Barat. Oleh karena itulah
penghapusan kekhalifahan merupakan agenda pertama yang dilaksanakan.
Pada tanggal 1 November 1922 Dewan Agung Nasional pimpinan Mustafa Kemal
menghapuskan kekhalifahan. Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 1923
memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara. Akhirnya Dewan
Nasional Agung pada tanggal 29 Oktober 1923 memproklamasikan
terbentuknya negara Republik Turki dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai
Presiden Republik Turki.
Setelah meniadakan
kekhalifahan, politik Kemalisme menghapuskan lembaga-lembaga syariah,
meskipun sebenarnya peranan lembaga ini sudah sangat dibatasi oleh para
pembaru Kerajaan Usmani. Bagi Kemalis, syariat adalah benteng terakhir
yang masih tersisa dari sistem keagamaan tradisional. Lebih lanjut lagi
Kemalis menutup sekolah-sekolah madrasah yang sudah ada sejak tahun
1300-an sebagai suatu lembaga pendidikan Islam.
Reformasi
agama adalah salah satu contoh tindakan ekstrim dari rezim Kemalis
setelah penghapusan khalifah. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan
agama dari kehidupan politik negara dan mengakhiri kekuatan tokoh-tokoh
agama dalam masalah politik, sosial dan kebudayaan. Selain itu Mustafa
Kemal juga mengajukan pemikiran tentang nasionalisme agama. Menurutnya
agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena itu harus disesuaikan
dengan sosial dan budaya masyarakat Turki.
Suatu
komite dibentuk di Fakultas Teologi di Universitas Istanbul untuk
memodernisasikan Islam. Komite ini menyebarkan keinginan Mustafa kemal
untuk mengganti bentuk dan suasana mesjid seperti bentuk dan suasana
gereja di negara-negara Barat, dengan menekankan pada: pentingnya mesjid
yang bersih, dengan bangku-bangku dan ruang tempat menyimpan mantel;
mewajibkan jamaah masuk dengan sepatu yang bersih; menggantikan bahasa
Arab dengan bahasa Turki; menyediakan alat-alat musik ditempat shalat
untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang
telah ada dengan khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan
filsafat Barat. Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan
mengganti pengucapan azan ke dalam bahasa Turki, yang amat ditentang
oleh mayoritas masyarakat Muslim Turki.
Reformasi
agama, yang bentuknya upaya Turkifikasi Islam atau nasionalisasi Islam
ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah Kemalis dalam kehidupan
beragama di masyarakat Turki. Sekularisme yang sejatinya memisahkan
hubungan agama dengan pemerintahan, di mana negara menjamin kebebasan
beribadah, bagi warga negara, pada pelaksanaannya dijalankan dengan
semangat nasionalisme yang radikal dan dipaksakan oleh Kemalis. Namun
penerapan nasionalisasi agama ini hanya bertahan hingga akhir
pemerintahan Kemalis (Partai Rakyat Republik). Sejak tahun 1950, azan
kembali diucapkan dalam bahasa Arab. Mesjid-mesjid di Turki pun hingga
saat ini tetap menunjukkan bentuk-bentuk yang umum sebagaimana mesjid di
negara-negara lainnya.
Peradaban menurut Mustafa
Kemal, berarti peradaban Barat. Tema utama dari pandangannya tentang
pem-Barat-an adalah bahwa Turki harus menjadi bangsa Barat dalam segala
tingkah laku. Untuk itu Pemerintah Kemalis mengeluarkan kebijakan
larangan menggunakan pakaian-pakaian yang dianggap pakaian agama di
tempat-tempat umum dan menganjurkan masyarakat Turki menggunakan pakaian
sebagaimana orang-orang Barat berpakaian (berjas dan bertopi).
Peraturan ini mulai efektif pada November 1925 dan hingga saat ini
masyarakat Turki menggunakan pakaian a-la Barat. Sampai saat ini
pemakaian jas sudah menjadi ciri umum dari masyarakat Turki. Sedangkan
pemakaian topi menghilang bersamaan dengan menghilangnya kebiasaan
memakai topi itu pada masyarakat Eropa.
Mustafa
Kemal juga mengkritik pemakaian jilbab oleh wanita-wanita Turki, tapi
semasa hidupnya tidak ada undang-undang yang secara tegas melarang
pemakaian jilbab tersebut. Pelarangan jilbab secara konstitusional baru
terjadi pada tahun 1998, sebagai reaksi militer atas munculnya fenomena
kesadaran yang tinggi dari muslimah-muslimah Turki dalam menggunakan
jilbab dan juga reaksi atas kemenangan Partai Islam Refah pada pemilu
tahun 1995.
Selain reformasi agama, reformasi
yang paling penting dari rezim Kemalis adalah reformasi bahasa. Tulisan
Arab diganti dengan tulisan Latin, berdasarkan undang-undang yang
diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 Novemeber 1928. Tujuan
reformasi bahasa adalah membebaskan bahasa Turki dari ‘belenggu’ bahasa
asing. Penekanannya adalah pemurnian bahasa Turki dari bahasa Arab dan
Persi. Mustafa Kemal mengadakan kunjungan di banyak tempat untuk
mengajar secara langsung tulisan baru pada rakyat Turki.
Reformasi
bahasa ini memberi sumbangan yang berharga bagi perkembangan linguistik
bahasa Turki saat ini. Penelitian yang mendalam terhadap akar bahasa
dan struktur bahasa Turki membuktikan bahwa bahasa Turki termasuk
kelompok bahasa Altay, yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan
bangsa-bangsa yang mendiami wilayah yang membentang dari Finlandia
hingga Manchuria. Dari segi gramatikal, bahasa Turki termasuk bahasa
aglutinatif, yaitu bahasa berimbuhan. Struktur sintaksis memperlihatkan
pola Objek-Predikat, dimana Predikat selalu berada di akhir kalimat.
Ciri-ciri struktural bahasa Turki memperlihatkan perbedaannya yang jelas
dengan bahasa Arab.
Komite ahli hukum mengambil
Undang-Undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki
menggantikan Undang-Undang Syariah, berdasarkan keputusan Dewan Nasional
agung tanggal 17 februari 1926. Undang-Undang Sipil yang mulai
diberlakukan pada tanggal 4 Oktober 1926 ini antara lain tentang:
menerapkan monogami; melarang poligami dan memberikan persamaan hak
antara pria dan wanita dalam memutuskan perkawinan dan perceraian.
Sebagai konsekuensi dari persaman hak dan kewajiban ini hukum waris
berdasarkan Islam dihapuskan. Selain itu undang-undang sipil juga
memberi kebebasan bagi perkawinan antar agama.
Pada
I Januari 1935, pemerintah mengharuskan pemakaian nama keluarga bagi
setiap orang Turki dan melarang pemakaian gelar-gelar yang biasa dipakai
pada masa Turki Usmani. Mustafa Kemal menambahkan nama Ataturk, yang
berarti Bapak Bangsa Turki, sebagai nama keluarga. Pada tahun 1935
sistem kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender masehi; hari
Minggu dijadikan sebagai hari libur menggantikan hari libur sebelumnya
yaitu hari Jumat.
Tentang sekularisasi dan
modernisasi di Turki pada masa Rezim Kemalis seperti diuraikan di atas,
Bryan S. Turner, seorang guru besar sosiologi di Universitas Flinders
(Australia Selatan), menyimpulkan bahwa sekularisme tersebut merupakan
suatu bentuk pemaksaan dari pemerintah rezim, bukanlah sekularisasi yang
tumbuh sebagai suatu konsekuensi dari proses modernisasi seperti di
negara-negara Eropa. Selain itu sekularisasi di Turki pada saat itu
merupakan peniruan secara sadar pola tingkah laku masyarakat Eropa yang
dianggap modern dan lebih maju (1984:318). Bagi kemalis, manusia Turki
baru tidak saja harus berpikiran rasional seperti orang-orang Eropa,
tetapi juga harus meniru tatacara berperrilaku dan berpakaian seperti
mereka.
Masyarakat Turki Pasca Kemalisme
Mustafa
Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November 1938, setelah tiga kali
menjabat sebagai presiden Republik Turki, yaitu pada tahun1927, 1931 dan
1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan sistem pemerintahan
parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan
demokratisasi di Turki. Partai Republik rakyat adalah partai politik
yang dibentuk Mustafa Kemal untuk menjalankan roda Pemerintahan.
Meskipun demikian, sejarah Turki menunjukkan pemerintahan Kemal dengan
sistem pemerintahan satu partai tidak memberi ruang bagi kemunculan
partai oposisi. Iklim Demokrasi muncul kemudian sejak Turki menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan terus
berkembang menunjukkan kemajuan yang pesat. Daniel Lerner (di dalam
Memudarnya Masyrakat Tradisional, 1983) telah melakukan penelitian yang
mendalam di suatu kota dekat Ankara pada tahun 1950-an, dan menyimpulkan
bahwa negara Turki telah tumbuh menjadi negara yang relatif lebih
stabil dan demokratis di banding dengan negara-negara lain di kawasan
Timur Tengah.
Reformasi budaya, terutama
sekularisasi agama dan pemakaian hukum Barat menggantikan hukum Islam,
memperlihatkan proses dinamis dari penerimaan dan penolakan masyarakat
Turki. Sekularisasi agama pada masa Kemalis (1923-1950) melahirkan
generasi Turki yang jauh dari agamanya. Bahasa Turki yang ditulis dalam
bahasa latin telah menjadi bahasa nasional Turki. Sedangkan pemakaian
hukum-hukum Barat juga diadaftasi dengan berbagai tingkatan kesulitan di
berbagai lapisan msyarakat.
Pada pemilu 1950,
kekuasaan tunggal Partai Republik Rakyat berakhir dan digantikan oleh
partai sekuler beraliran liberal, yaitu Partai Demokrat. Partai pimpinan
Adnan Menderes ini mencoba mngoreksi penyimpangan-penyimpangan
sekularisasi yang sudah dijalankan oleh Partai Republik Rakyat sejak
berdirinya negara Turki. Namun Adnan menderes juga tidak ingin Kemalisme
digantikan dengan ideologi lain. Sejak masa pemerintahan Partai
Demokrat inilah masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas (98 persen
dari 70 juta jiwa) penduduk Turki dapat melakukan shalat di
mesjid-mesjid umum, berpuasa dan melakukan ibadah naik haji, yang pada
masa Rezim Kemalis sulit dilakukan. Selain itu madrasah-madrasah kembali
di buka, sehingga para orang tua dapat kembali menyekolahkan anak
mereka di sekolah agama, setelah mereka menyadari bahwa mereka tumbuh
sebagai suatu generasi yang kering dari nilai dan ilmu agama.
Madrasah-madrasah ini kembali ditutup pada tahun 1998 setelah dianggap
sebagai lembaga yang mendidik kelompok Islam fundamental yang
keberadaannya menguat dan mengancam ideologi sekuler Turki.
Perkembangan
masyarakat di Turki menemukan karakter sendiri yang unik sebagai suatu
bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran Kemalisme, yang
fundamental dan radikal, pemikiran liberalis yang meskipun menentang
Kemalisme tetapi tidak ingin ideologi ini diganti, dan pemikiran Islam,
baik yang konservatif maupun moderat. Semangat masyarakat Turki modern
untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai
dengan kesadaran yang mendalam tentang watak dan idealisme ke-Turki-an
dan ke Islaman. Penulis melihat bahwa gagasan sintesa tentang Islam,
Turki dan Barat yang pernah dimunculkan oleh Ziya Gokalp (Bapak
naasionalis Turki) mulai terimplementasikan dengan wajar dan alami,
sedangkan Kemalisme dijadikan ideologi negara yang keberadaannya sangat
dijaga oleh kekuatan militer Turki.
Militer Turki
mengambil peran sebagai penjaga ideologi Kemalisme sebagai prinsip
negara. Jatuhnya pemerintahan Partai Islam Refah pada tahun 1998 adalah
suatu bukti masih dominannya pengaruh politik militer di Turki. Namun
kebangkitan Islam, baik itu suatu fenomena kesadaran umat Islam Turki
untuk kembali mempelajari nilai-nilai Islam di tengah kebijakan sekuler
pemerintah dan fenomena dukungan masyarakat Islam terhadap kemenangan
partai politik yang dianggap membawa aspirasi Islam terus memperlihatkan
kemajuan ke arah yang positif. Aspirasi dan dukungan yang besar dari
masyarakat Turki kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam:
Partai Keadilan dan Pembangunan dalam pemilu 2002. Meskipun secara tegas
pemimpin partai ini menyatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan
bukanlah partai Islam dan mereka menyatakan komitmennya yang
sungguh-sungguh menjaga ideologi sekularisme di Turki, nampaknya Rakyat
Turki lebih melihat mereka sebagai sosok-sosok muslim yang shaleh yang
diharapkan dapat membawa Turki ke arah yang lebih maju.
Sebagai
penutup, dari pengalaman hidup di negara Turki, penulis menarik satu
kesimpulan bahwa opini masyarakat Turki hingga saat ini masih terpecah
dalam penilaian terhadap Mustafa Kemal Ataturk: Ia dihormati sebagai
penyelamat bangsa dan pendiri negara modern Turki, dan dikecam sebagai
pengkhianat yang bertanggung jawab atas hilangnya kekahlifahan Islam.
Kontradiksi ini menjadi bagian dari sejarah Turki yang tidak mudah
disepahamkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar