Rabu, 05 Oktober 2011

Faktor sosial Host Countries

Cyprus – Ini merupakan pekan yang menegangkan bagi parlemen Turki saat perdebatan amandemen jilbab. Meskipun ada demonstrasi besar-besaran yang diorganisir oleh institusi sekuler Kemalist, partai Keadilan dan Kemajuan (AKP) mengambil tindakan untuk menyelesaikan dilema jilbab yang telah berurat-akar di Turki dengan mengakhiri pelarangan jilbab di universitas-universitas.

Namun, AKP harus menyeimbangkan tuntutan semua konstituennya – mereka yang sekuler secara politik dan mereka yang religius secara politik.

Pada bulan Januari 1998, Pengadilan Konstitusional melarang jilbab di universitas-universitas dengan landasan, sebagai simbol politik dan religius, hal itu melanggar semangat sekuler konstitusi. AKP mendorong untuk menghapuskan larangan itu, dan mengajukan amandemen, didukung oleh Partai Gerakan Nasional (MHP), disetujui oleh begitu banyak mayoritas di parlemen pekan lalu.

Namun, Partai Rakyat Republik Kemalist (CHP) menyatakan bahwa mereka bertekad untuk menghadang keputusan itu dengan membawa amandemen tersebut ke hadapan Pengadilan Konstitusional, setelah disetujui oleh presiden. Pengadilan, sebagai badan hukum tertinggi yang bebas dari segala campur tangan politik, memiliki otoritas untuk menghapuskan amandemen dengan landasan bahwa hal itu akan membahayakan struktur sekuler Turki.

Menurut sebuah survei yang dilaksanakan oleh lembaga pemikir kebijakan Turki, Yayasan Riset Ekonomi dan Sosial Turki (TESEV), lebih dari separuh wanita di Turki memilih gaya hidup konservatif. Karenanya, mereka menutup rambut mereka atas landasan tradisi atau religius, dan percaya bahwa murid wanita tidak boleh dirampas haknya, hanya karena mereka menutupi rambut mereka.

Penting untuk membedakan antara dua tipe penutup rambut di Turki: satu tipe telah menjadi simbol sejarah budaya dan tradisi bagi wanita di wilayah Anatolia; yang lain telah dipromosikan sebagai simbol politik Islam selama dua dekade terakhir setelah popularitasnya di Selatan Lebanon dan pasca revolusi Iran menyebar ke Turki. Penutup kepala religius, dikenal di Turki sebagai "turban", rambut benar-benar tertutup dan diikat dengan kuat di bagian leher dengan gaya yang berbeda-beda, membuatnya tampak lain dengan penutup kepala tradisional.

Namun, meski politik Islam meningkat di wilayah tersebut, kebanyakan wanita Turki masih memilih untuk menutupi rambut mereka untuk alasan-alasan budaya, bukan agama.

Masalah penutup kepala telah diperdebatkan dengan sengit dalam beberapa tahun terakhir ini dibandingkan sebelumnya, bukan sekadar karena meningkatnya kekuasaan AKP yang berorientasi religius, tapi juga akibat berubahnya faktor-faktor domestik seperti urbanisasi, mobilitas sosial, dan pertumbuhan di kelas menengah.

Laporan perkembangan kemanusiaan UNDP 2005 di Turki melaporkan bahwa 20,4 persen dari total populasi wanita di atas usia 15 masih buta huruf. Prosentase wanita yang merasa dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi karena larangan jilbab/penutup kepala merupakan segmen minor dari populasi wanita, namun, membuat mereka harus membuka jibab/penutup kepalanya sebagai syarat untuk mengejar pendidikan lebih tinggi adalah sebuah kesalahan.

Sebagian berpendapat bahwa membuka pintu universitas – pusat kebebasan ilmiah dan pemikiran kritis – kepada wanita yang mengenakan jilbab/penutup kepala akan menghentikan marginalisasi wanita-wanita seperti ini. Argumennya adalah bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan membantu "membebaskan" mereka dari konservatisme religius dan dari gerakan religio-politik ekstrimis yang bertujuan menerapkan hukum Islam di Turki, sementara masih melestarikan pluralisme di universitas-universitas.

Mayoritas populasi Turki, meski mempraktekkan Islam, tidak mendukung ide bahwa partai-partai politik harus mengikuti kebijakan yang berakar dalam Islam. Pendirian AKP mengenai masalah jilbab/penutup kepala mungkin berasal dari tekanan dari segmen religius khusus para pemilihnya.

AKP menikmati 47 persen dukungan dari total pemilih pada pemilu terakhir dan pemilih yang konservatif secara religius masih merupakan tulang-punggung dukungan politiknya. Karenanya, kepemimpinan AKP tidak dapat begitu saja mengabaikan tuntutan mereka dan mengecilkan masalah jilbab religius.

Idealnya, AKP seharusnya mempersembahkan perubahan ini sebagai bagian dari ekspansi kebebasan di Turki. Ini bisa menjadi komponen proyek modernisasi Turki—paket reformasi yang komprehensif yang akan mengevaluasi kembali berbagai masalah lain berkenaan dengan hak-hak minoritas.

Banyak orang berpikir bahwa perubahan ini kemungkinan akan meluas melampaui universitas ke institusi umum lainnya, jika AKP ingin memuaskan tuntutan para pemilihnya. Pada titik ini, AKP mungkin menghadapi beberapa kesulitan untuk menghilangkan keragu-raguan bahwa maksud mereka yang sesungguhnya bukanlah mengubah Turki menjadi negara Islam.

Sebaliknya, AKP harus menginspirasi kepercayaan publik bahwa mereka juga menjamin sistem politik sekuler di Turki. AKP harus mempertahankan keseimbangan kekuatan sambil tetap memenuhi tuntutan pemilih Muslim konservatif maupun pemilih sekuler, pro-Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar